PAPARAN.net – Jakarta – Presiden Joko Widodo baru saja melantik 6 menteri baru yang akan menggantikan posisi menteri sebelumnya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12/2020).
Di antara keenam menteri baru itu, salah satunya adalah Sandiaga Salahudin Uno yang kini dipercaya menduduki pos Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), menggantikan Wishnutama. Sandiaga adalah seorang pengusaha dan inisiator OKE OCE yang sebelumnya menjadi pesaing Jokowi dalam Pilpres 2019.
Ia juga merupakan calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo Subianto, yang saat ini sosoknya juga sudah ada di dalam lingkar pemerintahan, pasca-didaulat menjadi Menteri Pertahanan pada awal masa kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf pada Oktober lalu.
Banyak pihak yang mengistilahkan masuknya Prabowo-Sandi ke dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut sebagai “Happy Ending”. Artinya calon-calon yang sebelumnya bersaing di Pilpres, kini mendayung di kapal yang sama. Padahal, perlu diketahui rivalitas keduanya sangat berdampak di masyarakat, selama masa kampanye Pilres kemarin, bahkan setelahnya.
Pakar politik sekaligus pendiri Lingkar Madani, Ray Rangkuti menyebut apa yang terjadi hari ini menunjukkan sebuah adegan politik kekuasaan. “Para politisi mencari kekuasaan.
Untuk kekuasaan itu, apa pun dilakukan. Tentu akan dibuat argumen yang seolah rasional dan menjadi bagian khas kultur politik Indonesia,” jelasnya kepada Kompas.com, Rabu (23/12/2020). Satu istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan hubungan baik yang terbentuk saat ini adalah rekonsiliasi.
Akan tetapi, Ray menyebut semestinya rekonsiliasi dua pihak berseberangan dalam dunia politik tidak dilakukan dengan jalan melebur jadi satu dalam sebuah kekuasaan.
“Rekonsiliasi dalam bingkai demokrasi bahwa setiap aktor politik kembali ke fungsi masing-masing. Yang berkuasa mengelola kekuasaannya sesuai visi misi, yang belum terpilih memposisikan dirinya sebagai mitra kritis Pemerintah,” kata dia.
Baik ada di posisi pemerintahan maupun oposisi, keduanya tetaplah memiliki peran penting yang harus dikerjakan.
Meski dalam posisi yang berbeda, peran tersebut dijalankan dalam semangat yang sama yakni memastikan seluruh kebijakan yang diambil ditujukan untuk kepentingan nasional.
“Itulah rekonsiliasi. Kalau rekonsiliasi artinya seluruhnya bergabung dalam kekuasaan, kita tidak memerlukan pemilihan presiden langsung dan apalagi sistem presidensial.
Cukup jadi negara parlementer,” papar Ray. “Presiden cukup jadi kepala negara. Adapun kepala pemerintahan diserahkan ke perdana menteri yang bisa berganti kapan waktu,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ray mengatakan apa yang terjadi saat ini tidak mencerminkan sistem presidensial dan sistem pemilihan presiden secara langsung.
“Sebaliknya, semua ini mencerminkan bahwa kita telah kehilangan tujuan penting sistem presidensialsme, yang semestinya ada pihak oposisi yang menjadi mitra kritis mengawal kerja pemerintahan,” kata dia.
“Negara tanpa dua kekuatan yang memadai seperti ini akan kehilangan keseimbangan. Kekuasaan presiden yang terlalu besar akan membuat publik kehilangan akses representasi,” imbuhnya.
Sebagai gambaran, pada pemilu lalu menunjukkan dukungan sekitar 44 persen suara yang memilih Prabowo-Sandi, bukan soal mereka berdua, tetapi soal suara yang menunjukkan keinginan adanya kelompok yang berseberangan.
“Suara ini harus dihargai. Diwujudkan dalam praktik keseharian Indonesia. Tentu tidak dalam suasana berlomba secara elektoral. Tapi saling mengingatkan, mengarahkan dan pada waktu lain menguatkan tujuan-tujuan nasional. Inilah rekonsiliasi yang tepat dalam sistem demokrasi presidensial,” jelas dia.
Lebih lanjut, jika melihat bergabungnya dua ikon politik yang sebelumnya menjadi rival presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilu, maka yang menjadi pertanyaan seberapa besar kekuatan dan masih eksiskah keberapaan pihak oposisi dalam praktik politik Indonesia.
“Tentu sulit menjelaskannya (seberapa kuat oposisi saat ini). Sekalipun secara kategoris masih ada. Setidaknya ada PKS, Demokrat dan PAN,” pungkas Ray.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kabinet Jokowi, Sandiaga Uno, dan Adegan Politik Kekuasaan…”,
Penulis : Luthfia Ayu Azanella
Editor : Sari Hardiyanto