
Dua pasang laki bini bergambar saat menunaikan ibadah umroh, beberapa waktu lalu.(foto herlina/perepat.com)
PEKANBARU (perepat.com)–Tak sedikit yang berkecewa hati karena tak jadi berhaji karena Pemerintah menunda pemberangkatan Jama’ah Calon Haji (JCH). Hal itu ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 660/2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jama’ah Haji pada Penyelenggaran Ibadah Haji tahun 1442 Hijriyah/2021 Masehi, yang ditandatangani Menag RI, Yaqut Cholil Quomas, Kamis, 22 Syawal 1442 (3 Juni 2021).
Berbagai tanggapan dan kritisi oleh berbagai kalangan pun bermunculan. Ujar komentar negatif berburuk-sangka (shuu’ al-zhon) mencuat pula dengan upat-cela.
“Duh, Masyaa Allaah …! Dah due kali tak jadi pergi berangkat berhaji. Laki-bini lak lagi,” keluh sedih seorang suami.
“Semua persyaratan administrasi telah kami lengkapi. Bahkan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji, red), dah pula kami lunasi. Padahal negara tetangga memberangkatkan,” ucap Agus, seorang di antara JCH bernada kecewa.
Menjawab pertanyaan perepat.com, Tuan Guru Haji (TGH) Drs Syafruddin Saleh Sai Gergaji MS, da’i yang telah lebih 40 tahun berdakwah dan mengajar, menjelaskan bagaimana sikap terbaik JCH terhadap penundaan berangkat berhaji itu.
Ujar Buya Sapar (begitu pebasaan hormatnya), menegaskan bahwa Allaah tetap akan mengganjari niyat berhaji itu, meski belum jadi pergi menunaikannya.
“Berbagai alasan dan ada-ada saja kendala yang dapat menyebabkan tak jadi. Boleh tersebab syar’i, atau boleh jadi dek dizholimi. Boleh bersedih, tapi tetap tawakal. Allaah mengganjari pahala walau tak jadi pergi berangkat berhaji, ” tutur Ketua II Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru itu.
Buya yang juga Ketua Badan Pengawas Idaroh Kemakmuran Masjid Indonesia (IKMI) Kota Pekanbaru itu, menjelaskan tentang hal itu dengan landasan dalil al-Qur’an dan hadits Nabiy Muhammad shola Allaahu ‘alaihi wasallam. Landasan al-Qur’aniyahnya, tuturnya:
“Sesiapa pun jua yang mengerjakan kebaikan (meski) seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (ganjaran)nya (dari Allaah). Dan sesiapa pun jua yang berbuat kejahatan (walau) seberat (tungau) zarrah, niscaya dia akan melihat – pula (balasan)nya dari Allaah.”(Q.S. 2, al-Baqoroh: 7-8)
Landasan haditsyiyahnya pula:”Sesiapa pun jua yang berniyat melakukan kebaikan (apapun, pen.), namun kudian dia tidak jadi melakukannya, maka Allaah niscaya tetap akan mencatat amalannya (itu), dan tetap mengganjarinya pahala kebaikan yang sempurna,”.(Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim.)
Namun, syarat dan ketentuan berlaku sesuai syari’at dan petuah adat yang bersendikan syarak dan kitabullaah, tukas Ketua Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (DPH LAM) Riau Bidang Agama dan Nilai-nilai Adat (AgNiA) mengulasnya. Tetap bersabar dan bertawakal kepada Allaah Rabb al-Jalal. Tidak menggerutu, dan mengupat mencela berjela-jela.
“Kalaulah menggerutu dan mengupat mencela berjela-jela dengan kalimat kesal hati, maka rusaklah rukun iman kelima. Seolah tak yakin, bahwa ketetentuan dan ketetapan tak jadi berangkat menunaikan haji itu oleh Allaah Rabb al-‘Izzatiy,” ucap Buya Sapar mengingatkan.
“Petuah tunjuk-ajar orang tua-tua menashihatkan: Sesiapa mendapatkan takdir yang buruk/ janganlah dia mengupat merutuk// Sesiapa mendapatkan takdir yang buruk/yakinkan diri bahwasanya Allaah akan mengganti dengan yang sebaik bentuk” ucap Buya mengutip nashihat adat.
Meski tak jadi berhaji, dinashihatkan Buya, diri mesti tetap menjaga keto’atan beribadah kepada Allaah. Menjaga dan memelihara sholat berjamaah, tekun membaca dan mentadabburi al-Qur’an, memerbanyak infaq dan sodaqoh.
Tukuknya menambahkan, bahkan ada ‘ibadah yang nilainya setara dengan haji dan umroh yang sempurna, yaitu sholat isyro’ dua roka’at.
“Sesiapa yang pergi berjama’ah shubuh ke masjid, setelah itu tak balik ke rumah, namun duduk berzikir (membaca al-Qur’an atau menyimak pengajian) hingga lewat waktu syuru’, lantas sholat sunat isyro’ dua rokaat, maka Allaah ganjari sama dengan haji dan umroh yang sempurna,” sebut Buya sapat mengutip hadits riwayat Tirmidzi.
“Walau sama pahalanya, tidaklah menggugurkan kewajiban berhaji atau berumroh”, diingatkan Buya lagi.
Pada Dzulhijjah ada pula ‘ibada yang utama dilaksanakan. Buya menyebutkan, yaitu puasa ‘Arofah pada 9 Zulhijjah, sholat sunat hari raya ‘Id al-Adhha pada 10 Dzulhijjah yang diikuti menyembelih hewan qurban sesudanya, atau diantara hari-hari tasyri’ 11,12,13 Dzulhijjah.(dan)