
Dera Dukana pengungsi Rohingya dari tanah Burma (Myanmar).(foto dok kabar 24 bisnis.com)
* Dera Dukana Desah Nasib Insan *
Bagian Pertama
Catatan Nestapa Sapar Kalsum Saleh
MENCATATNYA, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nations Organization (UNO) melansir pada Jum’at 7 Dzul Qo’idah 1442 (18 Juni 2021), bahwa jumlahnya pada dekade terakhir meningkat dua kali lipat. Tahun 2020 yang lalu, menjadi 82,4 juta orang.
“Pada tahun Covid – yang kebanyakan orang terbatas pergerakannya – jumlah orang yang terpaksa mengungsi justru bertambah tiga juta,” ujar Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Filippo Grandi kepada Reuters.
ASAL Negara para pengungsi, hampir 70 persen dari lima negara, yaitu Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Venezuela, dan Myanmar negara yang dulu bernama Burma atau Birma.
Kontributor Tetap perepat.com, Sapar Kalsum Saleh, menuliskan catatan nestapa pada “Dera Desah Dukana Nasib Insan” para pengungsi Rohingya untuk para pembaca setia kita semua.
Salam
Redaksi
“Sesungguhnyalah, para orang-orang yang (telah menyatakan diri) beriman (kepada Allaah), orang-orang yang (sungguh-sungguh) berhijrah, dan (sungguh-sunguh) berjihad pada jalan Allaah Mereka itu (sesungguh-sungguh diri) mengharapkan rohmat (dari) Allah. Dan (sesungguhnyalah) Allaah Maha Pengampun lagi Maha Penyayanglah”
Tarjamah-tafsir-puitisasi Q.S. 2, al-Baqoroh: 154
Pendahuluan : Hal Nan Memilukan dan Memalukan
HIJROH mengungsi bukanlah keinginan, kalaulah tidak dikarenakan keadaan. Betapatah akan meninggalkan kampung halaman, tanah kelahiran yang menyimpan berbagai suka-duka kenangan, tanpa peduli rugi membiarkan rumah beserta harta benda.
Mirisnya lagi, yang membuat jiwa kita tercekat terhentak, tak sedikit di antaranya bebudak kanak-kanak dan anak-anak. Mengapa? Menyelamatkan diri dan keluarga menjadi hal yang lebih penting. Bertahan, justru akan makin mengenaskan dan kian mendenyaskan jiwa dan raga.
MENGUNGSI, solusi yang tak dapat dielakkan lagi, dan menjadi satu-satunya jalan untuk keluar menghindari hal yang lebih fatal lagi. Diantaranya sebagaimana yang terjadi pada etnis Rohingya, yang terpaksa harus hengkang meninggalkan negeri yang telah didiami berabad-abad oleh nenek-moyang mereka.
Tak berdaya menghadapi penganiayaan bertubi-tubi, maka mengungsilah mereka walau yang dijelang pun sesuatu yang belum tentu menjadi daerah yang menjanjikan. Itulah ratap ratib nasib yang harus mereka kutip.
Konon, merekalah etnis minoritas dunia yang paling teraniaya, dan merekala jugalah orang-orang yang paling sering diburu-buru atau dipersekusi akibat mengungsi. Subhaana Allaah…!
BANYAK sumber berita yang dapat dilacak untuk mengetahui buram kelam nasib mereka. Bukan dengan decak kagum, tapi dengan hati yang teriris miris dek kebengisan yang mereka alami bukanlah cerita picisan.
Mereka ditolak di negara sendiri, tidak diterima oleh beberapa negara tetangga. Miskin, tak punya kewarganegaraan, dipaksa pula meninggalkan negerinya pada beberapa dekade terakhir.
Dera desah dukana nasib insan, denyas kisah-kisah mengenaskan penindasan yang membidas berupa perkosaan, pembunuhan dan penjarahan bahkan pembakaran rumah-rumah mereka menjadi kosumsi sisi pahit masam suramnya nasib mereka. Pemerintah menutup-nutupi dan mencuci diri, menyebutnya sebagai ‘bohong’ dan ‘tak sesuai dengan kenyataan’.
ORANG Rohingya itu, mengalami nasib yang oleh beberapa kalangan menyebutnya tak ubahnya sebagaimana Srebenica Asia Tenggara, yakni peristiwa pembantaian sejumlah lebih dari delapan ribu Muslim Bosnia pada Shofar 1416 H (Juli 1995 M). Orang-orang Bosnia yang teraniaya itu semestinya harus dilindungi oleh badan dunia PBB.
Pembunuhanlah yang terjadi akibat abai dan lambat bertindak. Belakangan kejadian itu menjadi cap noda hitam pada catatan HAM di Eropa. Akankah Rohingya bakal atau memang sudah menjadi jelaga noda gulita juga di Asia Tenggara … ?
Siapa yang dapat membantu Muslim Rohingya dari kezoliman Pemerintah lalim itu …? Mempertanyakan dan menjawabnya menjadi hal mustahak, supaya penganiyaan dan persekusi tak kian menjadi-jadi semakin merebak. Nah!
***
WILAYAH di sebelah barat Birma (Myanmar) yakni Negara Bagian Rakhine – daerah pemukiman mayoritas di antara etnis Rohingya – menjadi negeri miskin karena sengaja dimiskinkan. Tindakan kekerasan dan penganiyaan yang seme-mena, dan kezholiman hal yang lazim terjadi saban hari.
Pemerintah tak peduli, karena mereka bukanlah etnis yang diakui sebagaimana 135 suku-bangsa yang ada di seluruh negara. Logat (dialek) khas rualingga bahasa mereka, terasa asing di kuping.
Perbedaan bentuk tubuh dan warna kulit, serta agama yang dianut tidak sama – menjadi penyebab mereka harus dijerembabkan bahkan kalau mungkin dibenyaplenyapkan. Najis rasialis yang tak sekadar mengeluarkan tangis, tapi menjadi tragedi tragis bersimbah darah, malahan mengorbannya nyawa yang berjumlah-jumlah.
PEMERINTAH menganggap mereka bukan penduduk sah dari Negara, bahkan sejak 1982 tegas-tegas menolaknya. Alasannya, karena mereka imigran ilegal atau pendatang haram.
Maka, jadilah mereka warga yang tak berwarga negara di antara mayoritas penduduk yang beragama Budha. Kebijakan yang tak bijak dari Pemerintah itu, menular dan menjalar di otak-benar banyak budhawan (umat Budha) yang tak cuma tuma atau onak.
Mereka itu di situ bukanlah orang Rohingya, tapi orang Bengali yang berimigrasi – yang mereka sebut sebagai orang mogh. Rohingya bagi para budhawan hanyalah sebutan politis, maka sikap bengis tak beradab, dan perbuatan lantas-angan bukanlah menjadi hal yang tak pantas lagi, atau bukanlah hal yang menyalah.
Budhawan Tak sungkan-sungkan bersama pasukan keamanan Pemerintah yang kejam, yang tak segan-segan, terus menerus menyeruduk orang-orang Rohingya dengan sikap yang buruk, sehingga nasib mereka kian teruk terpuruk.
MEREKA padahal, sudah berabad-abad mendiami Arakan atau Rakhine kinen ni, hingga beranak-pinak bercucu-cicit dan bahkan berpiyut. Sejarah mengungkapkan, bahwa Muslim Rohingya – yang sebagiannya mengaku keturunan Arab itu, telah menempati daerah ini sejak awal abad ke-12.
Human Rights Watch (HRW) mencatat pula, lebih seratus tahun pada masa Pemerintahan Inggris (1824-1948) telah terjadi sejumlah migrasi buruh yang signifikan dari India, dan Bangladesh ke Burma (Birma) yang saat itu menjadi bagian dari Provinsi India. Hal itulah yang menyebabkan migrasi (perpindahan) mereka hal internal yang halal, dan sah-sah saja.
(Organisasi Nasional Arakan Rohingya atau Arakan Rohingya National Organization [ARNO] – organisasi politik yang berbasis di London, Britania Raya – mengakui kebenaran sejarah itu sahih, dan dapat dibuktikan dengan fakta-fakta dari data-data kesejarahan yang ada). Apa daya, pemerintah yang berkuasa tak peduli dengan fakta sejarah itu.
SETELAH kemerdekaan Birma dari Inggris (1948), tak lama kemudian disahkan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan yang menetapkan penetuan etnis mana yang boleh dan berhak mendapatkan kewarganegaraan. Laporan Klinik Hak Asasi Manusia Internasional (International Clinic of Human Righ) Sekolah Hukum Universitas Yale atau Yale Law School (YLW) – New Haven, Amerika Serikat (2015), menginformasikan bahwa Rohingya tidak termasuk yang diikutsertakan.
Namun UU itu menyatakan, semua orang Rohingya yang kelurganya telah menetap di Birma setidaknya dua generasi, berhak mengajukan kartu identitas. Orang Rohingya diberikan identifikasi kewarganegaraan khusus, bahkan beberapa Rohingya sempat bertugas di parlemen Birma.
EGOISME Pemerintah yang tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya di Birma, dan sikap rasialis disertai najis fanatis religis, setidaknya sejak kemerdekaan dari Inggris (1948) itu, lama-lama menjadi benih perselisihan penyisihan dan pembersihan jati diri Rohingya. Antipati dari kebencian disemai dan ditabur sampai tumbuh subur sesubur-suburnya, yang memuncak menjadi putik yang memantik konflik perbenturan.
Buahnya, tragedi antagonis yang memilukan bagi Rohingya, yang dilakukan tanpa malu dan jengah oleh Pemerintah. Beragam kecaman dari berbagai pihak, oleh Pemerintah diabaicuaikan saja dengan congkak dan dengan benak tekak membengak.
Rohingya yang makin tak tertagak menghadapi tindakan membagak-hamun dan sikap bersiaci-lantak itu, kian terdesak terdepak terjelapak. Usaha banyak pihak, tak berbalas pantun dengan gerun mereka, PBB bahkan bagai si culun yang memble.
KONFLIK yang tak kunjung membaik, perampasan hak dengan tak mustahak, tindakan culas kekerasan, dan penganiayaan yang tega melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang merongrong mereka, menjadi lorong pendorong keharusan mengungsi. Prioritas teratasnya yang tak dapat ditawar-tawar dengan mahar kompromi, malah untuk menyelamatkan ‘aqidah (keyakinan agama).
Islam, identitas yang tak boleh retas sebagai jati diri. ‘Biarlah hidup susah, daripada ‘aqidah dibenyap lenyap punah’: inilah prinsipnya – meski keto’atan melaksanakan syari’at Islam di antara para mereka belum kuat.
Awal Pangkal Bala
KEADAAN yang berubah sangat drastis dan dramatis terjadi setelah kudeta militer di Birma pada 1962. Semua warga negara wajib punya kartu registrasi nasional. Orang Rohingya tidak lagi diberikan identifikasi kewarganegaraan khusus.
Pemerintah yang berkuasa hanya memberi mereka kartu identitas asing yang membatasi pekerjaan dan kesempatan pendidikan bagi mereka. Pemerintah tak mengakui keberadaan mereka, sebab perpindahan (eksodus) mereka pada masa pemerintahan Inggris hal ilegal, apapun modusnya. Para budhawan (pemuka dan penganut Budha) bersikap sama sinis, diracuni pemikiran rasialis etnis dan religis.
DISKRIMINASI atau ketidakadilan perlakuan terhadap etnis Rohingya, sungguh membuat mereka sangat teraniaya. Tak sebatas intimidasi, kekerasan pun harus mereka alami. Intensitas penindasan dan kekejaman tak henti-henti yang tak kunjung surut, memaksa mereka dengan amat terpaksa melarikan diri menghindari cecaran yang makin gencar.
Berawal setidaknya pada 1970-an, telah ratusan ribu orang mengungsi ke negara tetangga menuju Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara Asia Tenggara lainnya – termasuk nyasar ke wilayah pesisir pantai Indonesia. Menggunakan kapal ataupun perahu mereka menyabung nyawa menjemput untung melintasi Teluk Benggala dan Laut Andaman, merempuh hempasan gelombang.
Tak jarang mereka terapung terkatung-katung akibat mesin kapal ngadat macat. Tak jarang, sebelum sampai ke tujuan ada pula yang tersadai. Berbulan-bulan menanggung penderitaan.
PEMBERITAAN tentang penderitaan mereka pada awal-awal eksodus, amat sedikit yang dapat diendus. Hanya terkuak bagai apa tidak. Pada tahun-tahun pertengahan 2000-an, barulah agak menggebu dikabarkan nelangsa pengungsian mereka di media massa. Semakin tahun, nasib orang Rohingya ternyata kian menggerunkan.(bersambung)
(Baca lagi lanjutannya – In sya’a Allah)
Alhamdulillaah,
Bait al-Safar, Jalan Dirgantara, Gang Haji 3, Sidomulyo Timur, Marpuyandamai, Pekanbaru. Sabtu 8 Dzul Qo’idah 1442 (19 Juni 2021) pukul 07:23 WIB