Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama (Dirjen PHU Kemenag) RI, H Khoirizi H Dasir SSos MM.
JAKARTA (perepat.com)–Pelaksanaan ‘ibadah haji 1442 Hijriyah baru saja usai. Sejak Kamis dan Jum’at, 12 dan 13 Zulhijjah 1442 (22 dan 23 Juli 2021), jama’ah telah meninggalkan kota Makkah Al Mukarromah setelah melakukan towaf wada’ atau towaf pamit perpisahan.
Musim haji 1442 H, merupakan kali kedua pelaksanaan pada suasana pandemi Corona Covid Disease 2019 (Covid-19). Jika tahun lalu, Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia hanya mengizinkan 1.000 jama’ah tempatan (domestik) dan penduduk yang memang telah mukim (menetap), maka tahun ini jauh meningkat menjadi 60.000 orang.
Diantaranya 327 orang Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai diplomat, WNI biasa yang sudah menetap (ekspatriat), mahasiswa dan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Menegaskan pengamatannya terhadap pelaksanaan haji tahun ini, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama (Dirjen PHU Kemenag) RI, H Khoirizi H Dasir SSos MM mencatat sedikitnya ada delapan poin yang dapat dijadikan mitigasi (upaya mengatasi hambatan atau kendala) dan evaluasi untuk penyelenggaraan ‘ibadah haji mendatang.
Hal itu disampaikannya pada web seminar (webinar) Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) yang diadakan Forum Komunikasi Alumni Petugas Haji Indonesia (FKPHI) melalui daring sebagaimana pemberitaan tertulis Kemenag RI.
“Saya dua hari terakhir mengikuti secara seksama apa yang terjadi di Tanah Suci melalui teman-teman kita. Mulai dari Konjen, Konsul Haji yang tahun ini juga menjalankan ibadahnya. Paling tidak ada delapan hal yang saya catat sebagai pengetahuan bagi kita sebagai mitigasi sekaligus evaluasi ke depannya,” tukas H Khoirizi mencermati.
Kedelapan hal menurut Plt Dirjen PHU Kemenag RI itu, pertama, pada 2021 penyelenggaraan haji masih menerapkan protokol Covid-19 yang sangat ketat. Berarti banyak pembatasan-pembatasan yang dilakukan, meliputi kuota, waktu pelaksanaan, dan manasiknya.
Kedua, monitor seluruh tahapan prosesi haji digitalisasi. Tidak ada lagi sarana komunikasi tatap muka (face to face). Semuanya berjalan dengan baik, dan semuanya berjalan dengan teknologi. Ketiga, ‘ibadah haji dilaksanakan sangat minimalis dengan total pelaksanakaan prosesi hanya 6 hari.
Pada 7 Zulhijjah 1442 jama’ah haji bergerak dari Makkah menuju Mina. Kemudian 8 Zulhijjah menuju ‘Arofah dan seterusnya. Hingga 13 Zulhijjah telah kembali.
Keempat, dengan enam hari penyelenggaraan haji tanpa tinggal di hotel, jama’ah haji mengeluarkan paket biaya paling murah 14.000 Riyal (Rp53 juta) atau yang paling mahal 20.000 Riyal (Rp80 juta). Perbandingannya, biaya Calon Jama’ah Haji Indonesia (CJHI) yang masa pelaksanaannya empat puluh hari hanya Rp35 juta.
Kelima, penyelenggaraan haji, ‘ibadah yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Selama ini jumlah jama’ah antara dua hingga tiga juta manusia yang terkonsentrasi pada satu titik. Bahkan waktu, tanggal, jam, dan detik pun diatur sedemikian rupa. Sekarang 60.000 orang, yang 10.000 orangnya dapat mewakili dua juta atau tiga juta manusia ke depan.
Keenam, jama’ah dituntut untuk lebih mandiri, sebab penyelenggaraan haji 1442 Hijriyah ini seluruh prosesi ‘ibadah sudah dimonitor dengan sistem digital. Seluruh kegiatan ritual ‘ibadah dapat diakses melalui aplikasi terintegrasi di ponsel masing-masing jama’ah yang menuntut kemandirian.
Peraturan yang diterapkan Indonesia pun, sesuai undang-undang tujuan penyelenggaraan ibadah haji, yakni: pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang dilakukan agar jama’ah haji lebih mandiri dan memiliki ketahanan nasional.
Ketujuh, saat ini Pemerintah Arab Saudi membatasi usia jama’ah haji berusia antara 18-65 tahun. Pembatasan usia itu, dapat menjadi acuan mitigasi penyelenggaraan haji Indonesia ke depan.
Kedelapan, jama’ah haji tidak akan lagi mengenal ziarah. Tidak lagi mengenal Masjid Kucing. Tidak lagi mengenal Masjid Tujuh. Tidak lagi ke Madinah ke masjid Nabawi dan ke makam Rosul Allaah Shola Allaahu ‘Alahi wa Sallam. ‘Ibadah haji tanpa disertai ziarah harus pula menjadi mitigasi.
Dari delapan poin itu Khoirizi menegaskan, ke depannya pihaknya akan terus mengevaluasi untuk mempersiapkan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jama’ah haji Indonesia. Caranya, berupaya mengubah pola pembinaan manasik hajinya.
“Menurut hemat saya, ke depan kita harus mulai mengevaluasi bagaimana mempersiapkan pelayanan. Bagaimana mempersiapkan perlindungan, serta bagaimana cara mengubah pola pembinaan manasik hajinya,” pungkasnya.(saf/wan)