
Perepat.com-Salah satu momok masalah yang dihadapi banyak negara di era globalisasi saat ini adalah munculnya ideologi pemikiran radikalisme karena sering dikaitkan dengan pandangan ekstrem dan keinginan untuk perubahan sosial yang cepat.
Radikalisme dapat diartikan tindakan yang sangat membahayakan keutuhan NKRI karena tidak hanya mengancam dari luar tetapi menyusupi ke dalam diri masyarakat Indonesia melalui pencucian otak yang dilakukan oleh kelompok intoleran.
Dahulu, instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti rumah ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Namun kehadiran media sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka.
Semua kalangan dapat dengan mudah mengakses situs radikal, bertatap muka secara online, hingga memungkinkan proses radikalisasi berlangsung di dunia maya.

Karena itulah, media sosial sebagai instrumen kelompok radikal tidak hanya menghadirkan propaganda baru terorisme, tetapi lebih jauh. Ada tiga pola dan bentuk radikalisme baru yang perlu diwaspadai.
Pertama, radikalisme di lingkungan anak-anak dan remaja. Pilihan media sosial sebagai medium propaganda oleh kelompok radikal bukan sekadar karena alasan praktis dan mudah, tetapi karena mereka sadar bahwa secara demografis para pengguna media sosial umumnya adalah kelompok anak-anak dan remaja.
Beberapa contoh kasus dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS ke Suriah adalah kalangan remaja dengan kisaran usia 18-25 tahun yang konon karena terpengaruh melalui media sosial.
Kedua, radikalisasi pada kalangan terdidik. Sempat ada kesimpulan besar di tingkat global bahwa anak muda yang terpengaruh dan masuk dalam jaringan kelompok radikal, kebanyakan merupakan mereka yang putus sekolah, buta huruf, miskin, dan pengangguran.
Namun dengan kehadiran propaganda melalui media sosial saat ini menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan kelas menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang.
Ketiga, radikalisasi di ruang terbuka. Dunia maya merupakan ruang publik baru yang terbuka dan bebas. Radikalisasi tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang rahasia dan tertutup.
Proses seseorang menjadi radikal dapat terjadi di ruang belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai lain yang memungkinkan seorang mengakses situs dan media sosial kelompok radikal.
Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan oleh kelompok teroris.
Tumpulnya regulasi menjadi angin segar bagi kelompok teroris yang dengan bebas menyebarkan paham dan ajaran radikal di dunia maya. Sebenarnya sudah banyak situs dan akun media sosial yang telah lama menjadi pembanding sekaligus pembendung paham radikal di dunia maya.
Hanya, upaya saat ini masih parsial dan harus dikonsolidisikan untuk membentuk suatu kekuatan bersama. Diharapkan seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil di dunia maya mampu membentuk gerakan sinergis dalam mencegah dan membendung radikalisme dan terorisme di dunia maya.***