JAKARTA – Guru Besar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Nindyo Pramono menyoroti aturan kewenangan penyidikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurutnya, penyidikan OJK tidak memberikan kepastian hukum karena menyatukan kewenangan pengawasan administratif dengan kewenangan penyidikan yang bersifat pro justicia.
Hal itu ia katakan karena di tahun 2019 lalu ia ikut sidang pengujian Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) terhadap UUD 1945 aturan kewenangan penyidikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Fungsi kewenangan OJK seharusnya berada dalam ranah hukum administrasi negara pada proses pemeriksaan dan penyelidikan,” katanya Kamis (5/1/2023).
Sementara itu, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Ratno Lukito membandingkan OJK di Indonesia dengan negara lain.
Sebab, di negara lain, pengawas keuangan tidak mencampur dua kewenangan penyidikan dan administrasi.
“Kewenangan penyidikan diserahkan pada penegak hukum reguler atau lembaga khusus yang memiliki kewenangan penyidikan,” jelasnya.
Lukito menilai, OJK di Indonesia berpotensi menimbulkan tumpang-tindih (overlapping) dengan lembaga penegak hukum seperti Polri.
Seharusnya, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing.
“Dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri,” ucapnya.
Lukito menyebut, Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law (proses hukum yang wajar) dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK.
Kemudian, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama dalam kata ‘penyidikan’, yang memberikan wewenang penyidikan bertentangan dengan asas due process of law dalam sistem penegakan hukum pidana (criminal justice system).
“Ini juga tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi seseorang yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan,” tutur Lukito.
(Red/Humas MKRI)