Catatan Tanggapan Dari Bedah Buku “Ribuan Tahun Sumatera Tengah”
Oleh, Asyrul Fikri Sarnubi
Pengantar Redaksi
Pagi Rabu, 17 Sya’ban 1442 (31 Maret), Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning (FIB Unilak) menaja bedah buku ”Ribuan Tahun Sumatera Tengah – Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam” karya Richard H Hoper (Komunitas Bambu, Depok: 2016). Berlangsung virtual melalui ruang maya atau aplikasi zoom meeting. Acara yang diancang pukul 08:30-12:00 itu bekerja sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), dan Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Riau.
Empat tokoh sejarawan, sastrawan-budayawan dan akademisi menjadi narasumber. Mereka, Prof (Emiritus) Drs H Suwardi MS dari Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Riau, Drs H Taufik Ikram Jamil MIKom sastrawan-budayawan, Sekretaris Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu (MKA LAM) Riau, Dr Junaidi SS MHum Rektor Unilak dan Prof Dr H Syamsul Nizar MAg selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Bengkalis. Pemandu acara (moderator) dipercayakan kepada Jefrizal SHum M.Sn yang biasa dikenal dengan nama pena Jefri Al Malay.
Dinyana, perhatian khalayak sangat menggembirakan. Ada 400-an lebih peserta yang mendaftar mengikuti. Debat hangat dan kritisi berisi menjadi hal yang menarik untuk ditelisik. Maka, sebagai partisipasi, perepat.com memuat catatan tanggapan TGH Drs H Syafruddin Saleh Sai Gergaji MS (mantan pensyarah/dosen, da’i-sastrawan-budayawan-bahasawan-wartawan) dan Asyrul Fikri SPd MPd (Pensyarah/ Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP UNRI, Pekanbaru).
Redaksi
Catatan Pendahuluan
SAAT saksama mengikuti kegiatan bedah buku virtual (webinar) buku ”Ribuan Tahun Sumatera Tengah – Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam” (Komunitas Bambu, Depok: 2016) karya Richard H Hopper (selanjutnya Hoper saja) – yang ditaja Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning (FIB Unilak) bekerja sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), dan Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Riau, Rabu pagi 17 Sya’ban 1442 (31 Maret 2021), teringatlah saya pernyataan Bung Karno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah (JASMERAH). Barang siapa melupakan sejarah akan berdiri di atas vacuum. Akan berdiri di atas kekosongan”.
Pernyataan ini diterakan pula oleh panelis Prof Dr H Syamsul Nizar MAg Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkalis, di awal makalahnya “Ribuan Tahun Sumatera Tengah: Sejarah Yang Tercecer”, pertanda kesamaan ingatan kami terhadap penegasan berenersi dari Bapak Proklamor Republik Indonesia itu.
DISKUSI, menilai positif kerja keras dan kesungguhan Hoper. Walau dia hanyalah geologis, bukan sejarawan (historian), tapi mampu menghasilkan sutu karya Sejarah. Maka, patut kita apresiasi dengan berbagai sudut pandang yang terbuka. Tetapi, karena bukan ditulis sejarawan dengan pendekatan sistematika penulisan sejarah, perlulah pelurusan. Maka, tak mengherankan andai acara berlangsung hangat dengan debat dan aksentuasi yang padat kritisi. Kritikan yang menakik isi buku guna perbaikan dan kebaikan, bukan celaan negatif yang menaifkan karya Hoper itu.
TAMPIL pertama mengawali bedah buku, Dr Junaidi SS MHum Rektor Unilak, menyampaika berbagai Critical Point of View (rincian kritikan). Diawal, dia menyebut andai ada perbedaan pendapat, pandangan, dan perspektif merupakan hal yang wajar. Terlebih lagi cakupannya sangat luas, XV bab termasuk penutup. Tak hanya fokus tentang penemuan ladang minyak di Riau.
Hal ini pun dikirtisi pula oleh Prof (Emiritus) Drs Suwardi Muhammad Samin, panelis kedua bedah buku. Ruang lingkup isi buku, rentang waktunya terlalu jauh untuk satu kajian sejarah. Alhasil, menjadi tidak fokus. Lebih banyak menjelaskan sesuatu secara umum sehingga kurang mendetail. Namun, tukas Suwardi yang sejarawan dan pensyarah (dosen) itu, ada beberapa informasi sangat penting guna mengungkapkan bagaimana upaya penemuan minyak di Riau.
PANELIS ketiga, Drs H Taufik Ikram Jamil MIKom memertanyakan mengapa menggunakan judul “Sumatera Tengah”, suatu wilayah yang sejarahnya tidak dikenal luas dan selalu merujuk Minangkabau dan Melayu. Lalu bagaimana dengan Muara Takus, Inderagiri, dan Siak? Simpulan darinya, kurang mendapat informasi lokal yang akurat, dan mengatakan Hopper mengerjakan semua itu untuk keperluan pribadi, tidak mewakili suatu Lembaga atau perusahaan tertentu.
MENEGENAI data dan fakta, bahwa penguasa setempat di Siak dan Kampar menjalin hubungan persahabatan dengan Portugis berbanding terbalik dengan daerah Bengkalis yang anti penjajah dan melakukan perlawanan dengan Portugis, menurut panelis keempat, Prof Dr H Syamsul Nizar MAg hal yang “sangat mengganggu dan menyakitkan”. (Menurut pendapat pribadi, hal ini yang mungkin menjadi sebab musabab sulitnya tokoh-tokoh pahlawan daerah naik menjadi Pahlawan Nasional. Wallaahua’lam).
Dia setuju dengan pernyataan panelis lain, bahwa buku ini tidak atau belum menampilkan ruang sejarah lokal yang lebih detail. Namun yang patut kita apresiasi , ucapnya, adalah lahirnya karya tulisan ini (walaupun hasil karyanya cenderung kolonialsentris) yang kita pribadi belum tentu dapat melakukan. Andai tak ada karya tulis seperti ini, mungkin sejarah nusantara hanya sebatas cerita tanpa dapat dibuktikan.
DUKUNGAN Pemerintah sangat diperlukan untuk penyelamatan sejarah. Sejarah benda memang perlu, tetapi perlu disertai sejarah non benda. Hal itu agar sejarah sesuai dengan zamannya. Celakanya, tatkala sejarah benda di”hancur-luluh”kan atau diubah bentuknya, dan sejarah non benda dipandang sebelah mata serta cuai dinilai, maka tak akan ada lagi sejarah akibat terputusnya mata rantai sejarah manusianya. Itulah pentingnya sejarah ditulis cermat, dan perlunya mencermati sejarah.
Sebagai pensyarah yang mendidikkan dan mengarahkan para mahasiswa, saya menilai positif bedah buku itu, maka peduli ambil bagian sebagai peserta, walau sedang menjelang mertua bersama anak dan isteri, berada di tanah Kutai Kerta Negara, kerajaan tertua di Indonesia.
Tanggapan Sekilas
BUKU karya Hopper yang telah dibedah para panelis boleh jadi lebih berupa catatan pribadi. Membacanyapun akan menyita waktu pula kepada mereka yang cenderung bacaan buku sejarah murni yang sistematis. Penyebabnya, tambahan informasi dari berbagai referensi untuk mendukung tulisannya, malah menambah luas cakupan pembahasan.
Periodisasi atau rentang waktunya sangat jauh. Dimulai dari Prasejarah hingga Indonesia Merdeka (KMB 1949). Uraiannyapun terkesan melompat-lompat, bahkan terkadang tidak sinkron atau tidak mengungkapkan kausalitas historis. Bandingkan dengan Buku Sejarah Nasional Indonesia yang dicetak 6 jilid, masih ada celah yang luput dari penulisannya.
MENCERMATI di antara isi buku itu, tanpa mengabaikan kekurangannya dari sisi sistematika penulisan sejarah, ada mengungkapkan beberapa informasi bernilai tentang data dan fakta sejarah yang tidak akan kita temukan pada buku-buku lain. Di antaranya, asal usul penemuan ladang minyak di Riau, sejarah panjang perusahaan minyak Amerika hingga munculnya PT Chevron yang tak berapa lama lagi akan segera berakhir kontrak kerjasamanya dengan pemerintah Indonesia.
BERBAGAI pertanyaan akan muncul setelah mengikuti bedah buku, dan malah kian tergugah lagi setelah membaca bukunya. Mencuat di benak kalangan sejarawan, guru dan pensyarah (dosen) sejarah, bahkan bagi generasi sekarang dan nanti, terkait bagaimana pengelolaan tambang minyak di Riau. Misalnya, “mengapa PT CPI tidak terdampak nasionalisasi perusahaan asing pada masa Soekarno?” Atau “Apakah keberadaan PT CPI selama ini mampu menyejahterakan masyarakat tempatan dan masyarakat setempat?
PERTANYAAN lainnya yang tersirat pada satu bagian buku (halaman 99), tentang Perjanjian Kesultanan Siak dengan Belanda pada 17 September 1938. Lepasnya beberapa wilayah kekuasaan, dan pemberian izin penambangan didaerah kekuasaannya, sangatlah merugikan Kesultanan Siak. Berbanding terbalik dengan Kesultanan Deli yang sebelum ada perjanjian termasuk wilayah kekuasaan Siak.
DITULISKAN pada buku tersebut, Sultan Siak bergumam “Alangkah pahitnya kenyataan ketika melihat Sultan Deli hidup dalam istana megah di kota yang indah. Sementara itu, dirinya masih tersuruk dalam keterasingan di perkampungan Siak yang sama sekali tidak ada jalan raya.”
Sultan Siak ternyata lebih memilih mengangkat derajat dan menambah kekayaan keluarga kerajaan Siak. Hal itulah yang mungkin menjadi alasan Sultan Siak turun tahta bersatu dengan Republik. Peristiwa itu menjadi pembelajaran bagi kita untuk mengevaluasi tentang pencapaian upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat dari pengelolaan tambang di Nusantara.
Kembalinya pengelolaan tambang ke pemerintah melalui BUMN menjadi harapan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan wilayah di daerah pertambangan.
PERSPEKTIF historis dari tulisan Hopper dapat dinilai seobjektif mungkin tanpa ada kepentingan tertentu. Meskipun di beberapa tulisan masih menjadi perdebatan (interpretasi & amp; sudut pandang sejarah) seperti 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia, atau pengakuan Indonesia merdeka oleh Belanda tahun 1945, atau saat Konferensi Meja Bundar 1949.
Catatan Penutup
PERAN Hoper sangat penting bagi upaya penemuan ladang minyak di Riau. Kita salut, betapa sebagai geologis dia peduli pula dengan ihwal sejarah, sehingga mampu menghasilkan satu karya tulis berupa buku yang bernilai sejarah. Sangat jarang riset atau tulisan sejarah yang mengungkapkan tentang tema pertambangan. Kita lebih banyak membaca ihwal sejarah yang berkaitan dengan politik, revolusi sosial-ekonomi, dan peperangan, serta tema lainnya.
BUKU karya Hoper itu meskipun terbit lima tahun silam, momentumnya terasa istimewa tatkala Blok Rokan yang sudah hampir 50 tahun dikelola Chevron bakal kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan pengelolaan melalui Pertamina. Pemerintah telah memutuskan tidak memperpanjang lagi kontrak PT Chevron Pasific Indonesia (PT CPI). Seperti kita ketahui, Blok Rokan ladang minyak dengan cadangan paling banyak jumlahnya yang pernah ditemukan di Indonesia. Saat ini, 26 persen total produksi nasional justru dari Blok Rokan. Kontrak akan berakhir pada Ahad malam senin 30 Zulhijjah 1442, setelah pukul 00 (setelah tengah malam) 8Agustus 2021.
MEREKOMENDASIKANNYA sebagai buku referensi sejarah tidaklah salah. Kajian pada buku ini tergolong pada kajian sejarah lokal yang tentunya dapat dikaitkan dengan materi sejarah di sekolah, dan juga meteri perkuliahan. Dari sisi perspektif sejarah lokal sangat penting pada upaya penumbuhan kadar penyadaran akan sejarah (sadar sejarah) bagi pembentukan karakter peserta didik. Wawasan tentang daerah, in sya’a Allaah akan melahirkan kepedulian terhadap masa depan daerah kelak.
AKHIRNYA tulisan tanggapan sekilas ini saya sudahi dengan mengutip penggalan baris-baris akhir puisi karya WS Rendra “Seonggok Jagung di Kamar”, TIM Jakarta, 12 Juli 1975
…
Aku bertanya
Apakah gunanya Pendidikanbila hanya akan membuat seseorangmenjadi orang asingdi tengah kenyataan persoalankeadaannya?
Apakah gunanya Pendidikan bila hanya mendorong seseorangmenjadi layang-layang di ibukotakikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorangbelajar filsafat, sastra,tehnologi, kedokteran,atau apa saja,bila pada akhirnyaketika ia pulang ke daerahnya,lalu berkata:“di sini aku merasa asing dan sepi”
SAYAPUN bertanya: apakah gunanya/ kita belajar sejarah/ tapi tetap pongah// apakah gunanya/ sejarah disimak/ tapi tetap congkak// apakah gunanya// membaca sejarah/ tapi tak mengangkat marwah. Lantas, setelah kontrak berakhir, milik siapakah ladang minyak Riau?
Jahab, Tenggarong, Kutai Kerta Negara, Rabu malam, 31 Maret 2021
• Asyrul Fikri SPd MPd. Lahir di Pekanbaru 26 Syawal 1411 (11 Mei 1991). Sulung empat bersaudara dari pasangan Sarnubi Raja Majid (Lurah) dan Masrawati Saleh (Kepala SD). Alumnus S-1 FKIP UNRI, dan S-2 UNY. Menikah dengan Nurul Diyah Wiyanti, SKM. Telah dikarunia seorang putra, Hazwan Akmal Al Majid. Kini sebagai pensyarah (dosen) PNS, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNRI. Mukim di Pekanbaru.