JAKARTA (perepat.com)-Buya Ahmad Syafii Ma’arif telah wafat dalam usia 87 tahun di Yogyakarta, Jum’at 27 Mei 2022. Almarhum merupakan mantan Ketum PP Muhammadiyah, akademisi, intelektual dan budayawan. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra bersaksi bahwa sepanjang hidupnya Buya Syafii menghabiskan usianya untuk mengabdi kepada agama, masyarakat dan bangsa, baik melalui pendidikan, dakwah maupun pergerakan sosial dan keagamaan.
Buya Syafii telah menulis puluhan buku dan ratusan artikel yang menjadi rujukan dan warisan intelektual bangsa.
Di mata Yusri, kehidupan Buya Syafii begitu sederhana dan bersahaja, sering bergurau tetapi pemikirannya tajam dan kritis.
Tak semua orang sepandangan dengan Buya, terutama dalam menganalisis kemajemukan bangsa. Namun Buya tetap hangat, menghargai siapapun, walau beda pendapat bahkan mengkritik pandangannya.
“Satu hal yang harus kita pegang teguh dari warisan pemikiran Buya Syafii. Islam itu universal dan rahmatan lil ‘alamin. Aqidah dan etik yang diajarkan Islam adalah pegangan utama, berlaku abadi. Namun terhadap ajaran sosial dan politik, Islam membuka diri terhadap penafsiran,” tulis Yusril dalam akun twitter-nya, Jumat (27/5/2022).
Menurut Yusril yang juga Menteri Sekretaris Negara Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Buya Syafii memiliki pandangan bahwa Islam tetap relevan dengan zaman yang terus berubah dan di tengah masyarakat yang majemuk.
Islam menghargai kemajemukan itu dan menyuruh semua komponen masyakat bekerjasama berbuat kebajikan demi kepentingan bersama.
Secara politik, kata Yusril, Buya Syafii memandang tidak ada tabrakan antara Islam dan Pancasila, sepanjang Pancasila itu dikembalikan kepada pemikiran para perumusnya yang merumuskannya sebagai sebuah kompromi antara golongan Kebangsaan dan Golongan Islam.
Pancasila bagi Buya Syafii adalah falsafah negara yang sesuai dengan masyarakat majemuk yang menghargai dan menghormati keberadaan berbagai agama, etnik dan budaya.
Pemikiran Buya Syafii mengenai Islam dan masalah-masalah Kenegaraan, sangat penting untuk dijadikan rujukan bagi membangun masa depan bangsa.
“Saya mengenal Buya Syafii tahun 1985 ketika sama-sama duduk dalam PP Muhammadiyah di bawah pimpinan Alm AR Fachruddin. Seingat saya, saya mungkin orang pertama memanggilnya Buya karena waktu itu beliau tergolong masih relatif muda (50 tahun). Saya memanggil demikian sambil bercanda,” terang Yusril yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) melansir dari muhammadiyah.or.id.
Yusril mengaku berhutang budi kepada Buya Syafii. Terutama ketika dirinya ujian Doktor Ilmu Politik membahas Partai Masyumi (1992), Buya Syafii termasuk salah seorang pengujinya bersama Muhammad Kamal Hassan (Malaysia). Buya sering menasehati Yusril kalau bertemu, tentang banyak hal tentunya.
“Mari kita doakan Buya, semoga Allah SWT mengampuni segala khilaf dan salahnya dan menerima segala amal kebajikan selama hidupnya serta memasukkannya ke dalam surga Jannatun Na’im,” doa Yusril.(sap/sars)