ilustrasi proses belajar mengajar.
JAKARTA (perepat.com)-Kurikulum Merdeka telah diimplementasikan oleh lebih dari 140 ribu sekolah di Indonesia. Kurikulum Merdeka yang dikembangkan untuk mendukung pemulihan pembelajaran ini dinilai lebih fleksibel, berfokus pada materi esensial, dan memberikan ruang lebih besar pada pengembangan karakter serta kompetensi peserta didik.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI, Zulfikri Anas mengatakan Kurikulum Merdeka bukan sekadar perubahan dokumen dan administrasi. Namun, lebih kepada peningkatan kualitas belajar peserta didik dan meningkatkan kualitas hubungan guru dengan para peserta didiknya.
“Penekanannya di sini adalah seberapa jauh terjadinya perubahan proses belajar supaya penuntasan penyampaian materi sekarang lebih kepada pelayanan terhadap anak. Sehingga setiap anak dapat menemukan cara terbaik bagi dirinya untuk tumbuh dan berkembang,” ujar Zulfikri.
Zulfikri menyampaikan bahwa sebetulnya Kurikulum Merdeka bukan untuk mempersulit guru, tetapi mempermudah proses pembelajaran. Harapannya para guru bisa mewujudkan suasana belajar yang interaktif, bermakna, mendalam, dan si anak merasa menemukan dunia belajarnya di sekolah.
Ia berpesan, nakhoda yang tangguh tidak pernah lahir dari laut yang tenang. Oleh karena itu, ia mengajak para guru agar menjadi ‘nakhoda’ yang Tangguh.
“Semua persoalan yang kami hadapi saat ini akan mematangkan dan memperkaya kita sebagai guru. Sebab, guru-guru yang hebat tidak akan pernah lahir (jika tidak ada) murid yang bermasalah,” pesannya.
Dengan penerapan Kurikulum Merdeka, lanjut Zulfikri, guru menjadi lebih leluasa untuk merencanakan pembelajaran yang bermakna pada murid. Kurikulum Merdeka ini lahir dengan prinsip yang memerdekakan, memberdayakan, dan menguatkan kolaborasi. Dari sisi gurunya, diberikan ruang untuk merencanakan pembelajaran berlandaskan dari kebutuhan nyata para peserta didik.
“Jadi, di sini bukan soal sekadar bagaimana memerdekakan murid dalam belajar, tetapi bagaimana seorang guru itu dapat berdaya terlebih dahulu dalam merencanakan rancangan pembelajaran yang bermakna,” tegas Zulfikri.(sars)