
Pemerintah mewacanakan pengenaan PPN pada sembako.(foto istimewa)
JAKARTA (perepat.com)–Pandemi Covid-19 belum kunjung reda. Kondisi ekonomi masyarakat akibat wabah yang kian memburuk makin parah dan terpuruk. Banyak pula kalangan peniaga, terutama pedagang kecil menengah, yang mengeluhkan usaha mereka yang terdampak sontak.
Justru saat keadaan memprihatinkan itu, Pemerintah berencana menerapkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembilan bahan pokok (sembako) yang menjadi komuditas pangan rakyat sehari-hari.
Rencana mengenakan PPN untuk sembako itu tercantum di draft Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kelima Atas UU No. 6/ 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Melansir detik.com – pada pasal 4A tertulis parnyataan: “barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dihapus dalam RUU KUP sebagai barang yang tidak dikenakan PPN. Dengan kata lain, sembako akan dikenakan PPN”.
Kabar terbaru, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan opsi tarif PPN untuk sembako. Satu diantaranya, opsi dikenakan tarif 1 persen. PPN, pungutan yang dibebankan untuk transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Konsumenlah yang akhirnya akan dikenakan atau membayar PPN itu.
Tentu saja banyak pihak mengecam dan menolak kebijakan Pemerintah yang dianggap sangat tak bijak. Para buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bahkan tak sekadar mengecam, tapi juga mengancam akan menempuh jalur hukum uji materi, bahkan akan melakukan unjuk rasa atau demo besar-besaran jika pemerintah tidak segera membatalkan rencana itu.
“Kami mengecam keras! Ini bersifat kolonialisme! Cara-cara memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikkan PPN, khususnya PPN Sembako, adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan Menteri Keuangan,” ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, saat konferensi pers virtual, Kamis 29 Syawal 1442 (10 Juni 2021).
“Ini adalah sifat penjajah. Orang kaya diberi relaksasi pajak, termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM dalam kapasitas tertentu 0 persen. Tapi rakyat untuk makan yang kita kenal dengan sembako direncanakan dikenai pajak,” tukuknya bagai merutuk.
“Kami akan tempuh secara hukum uji materi kalau itu disahkan oleh DPR. Kami akan melakukan aksi gerakan digabungkan dengan isu omnibus law, dan isu kenaikan PPN terhadap sembako,” tukasnya pula menegaskan tekad mereka.
Kemarin, Rabu 28 Syawal 1442 (9 Juni 2021), Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyampaikan penolakan mereka dengan mengirimkan siaran pers (press release) yang ditandatangani Ketuanya , Abdullah Mansuri.
Mereka mengharapkan Pemerintah menghentikan upaya menjadikan sembako sebagai obyek pajak, dan harus memertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan.IKAPPU menyatakan, bila bahan pokok dikenakan PPN, maka akan membebani masyarakat. Sebab barang yang dikenakan PPN meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula.
Pada saat Pemerintah belum mampu mewujudkan stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan terakhir, pedagang pasar mengalami kondisi sulit karena lebih dari 50 persen omzet dagang turun, tulis siaran pers itu.
“Kami memprotes keras upaya-upaya tersebut, dan sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di Indonesia, kami akan melakukan upaya protes kepada Presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan anggota kami (pedagang pasar),” pungkasnya.
Puluhan Juta Bakal Menderita
Kritisi amat berisi, juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Dr H Anwar Abbas, MM MAg, Rabu 28 Syawal 1442 (9 Juni 2021) sebagaimana telah diberitakan perepat.com . Tegas beliau mengingatkan, pengenaan PPN pada sembako lebih banyak menimbulkan mudhorat (dampak buruk) yang berakibat kerugian kepada masyarakat banyak.
Beliau menilai kebijakan itu jelas-jelas bertentangan dengan amanat konstitusi, terutama amanat yang mengamanahkan bahwa tugas pemerintah melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Prediksinya, tidak kurang 40 juta hingga 50 juta orang akan menjerit akibat kebijakan yang tak bijak itu. Masyarakat menjadi tidak lagi mampu untuk memenuhi keperluan pokoknya karena harga sembako melambung dan terbebani pajak pembelian pula lagi, ulas Buya Anwar.(saf/wan/sap)