Paparan.net | Jakarta – Pemerintah Indonesia dianggap masih kurang serius dalam melakukan pencegahan krisis iklim.
Hal ini terlihat dari belum adanya upaya pemerintah untuk memasukkan program stimulus pencegahan krisis iklim dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022 yang sedang disusun oleh Bappenas dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2022 yang sedang disusun oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan (RIB), Dr. Cand. Yusdi Usman, di Jakarta Kamis 22 April 2021.
Yusdi Usman mengatakan bahwa krisis iklim sudah di depan mata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan dengan krisis iklim ini, yang berpotensi mengancam keamanan negara, krisis pangan, kelangkaan air bersih, datangnya berbagai bencana akibat krisis iklim seperti yang baru-baru ini melanda Nusa Tenggara Timur (NTT), dan lain sebagainya.
Meskipun pemerintah sudah mempunyai dukungan kebijakan yang memadai, baik UU No. 16 tahun 2016 tentang pengesahaan Paris Agreement mengenai perubahan iklim, dan sejumlah perangkat kebijakan lainnya, namun di level aksi (tindakan) dalam mitigasi krisis iklim masih sangat lemah. Kelemahan ini termasuk belum diarahkannya APBN 2022 untuk selaras dengan mitigasi perubahan iklim ini.
Jika APBN belum diarahkan untuk mendukung green economy dalam rangka mitigasi krisis iklim, lanjut Yusdi, maka dikhawatirkan bahwa target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia tahun 2030 tidak akan tercapai.
Padahal, seperti dinyatakan dalam UU No. 16 Tahun 2016, Indonesia berkomitment untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan dunia internasional pada tahun 2030.
Padahal, menurut data yang dikeluarkan oleh Climate Watch, pada tahun 2017, Indonesia menempati urutan kelima secara global sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca. Indonesia menghasilkan emisi sebesar 2275,4 MtCO2e. Sementara 4 negara penghasil emisi yang lebih besar dari Indonesia pada tahun 2017 masing-masing adalah China dengan emisi karbon sebesar 11.780,99 MtCO2e, Amerika Serikat yang memproduksi emisi karbon tahun 2017 sebanyak 5766,92 MtCO2e, India menyebarkan emisi sebanyak 3.356,7 MtCO2e, dan Rusia sebesar 2.460,27 MtCO2e.
Hal senada disampaikan Misbah Hasan, Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) yang sekaligus penggagas Gerakan Ekonomi Hijau Masyarakat Indonesia (Generasi Hijau). Menurut Misbah, pemerintah sudah harus lebih fokus pada upaya mitigasi krisis iklim secara lebih ambisius. Salah satunya adalah bagaimana membuat kebijakan anggaran afirmasi dengan memasukkan stimulus green recovery dalam APBN 2022.
Stimulus green recovery ini, lanjut Misbah, perlu dinyatakan secara eksplisit dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022 yang sedang disusun oleh Bappenas dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2022 yang sedang disusun oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Kedua dokumen perencanaan ini akan diserahkan kepada DPR RI pada 18 Mei 2021.
Selain sebagai kebijakan afirmasi, green stimulus ini bisa menjadi bagian penting dari green recovery dari covid-19. Anggaran green recovery merupakan anggaran dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022. Misbah melanjutkan bahwa green recovery dalam penanganan covid-19 bukan saja menguntungkan untuk pemulihan ekonomi nasional, melainkan juga membantu dalam mitigasi krisis iklim yang ada di depan mata kita.
Misbah menyarankan pemerintah memasukkan stimulus green recovery dalam RKP 2022 dan KEM PPKF 2022 untuk tiga sektor, yakni energi, pertanian, dan persampahan.
“Selain tiga sektor tersebut, pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk sektor lahan dan industri”, tutup Misbah. (Priel/Red)